Wednesday, December 10, 2014

Catatan Kunjungan ke Kantor DNPI dan Pelatihan Alumni YFCC Indonesia Batch VI

Jumat 5 Desember 2014 kemarin aku dan Ando, dari Telkom University, pergi ke Jakarta dari Bandung untuk mengikuti pelatihan alumni YFCC Indonesia. Tadinya sih mau barengan sama temen-temen YFCC Jabar 2 yang lain, tapi mereka pada batal hadir dikarenakan ada halangan mendadak. Jadinya walaupun cuma berdua doang kita tetep cabut dikarenakan pelatihan kali ini temanya sangat mengasyikan sekali “Jejak Karbon dalam Sektor Pariwisata dan Perhotelan”.

Selama di perjalanan, aku dan Ando bercerita mengenai kesibukan masing-masing dari topik perkuliahan hingga bercerita mengenai betapa indahnya Medan, kampung aslinya Ando, karena memiliki destinasi wisata yang paling sering dikunjungi wisatawan, yakni desa di pinggiran dan pantai sekitar Danau Toba. Mendengar ceritanya Ando ini aku jadi semakin pengen ke sana deh! Dan berhubung ngomongin soal wisata, akhirnya kami sama-sama tahu bahwa kita menaruh minat yang sama yakni di sektor pariwisata. Itulah sebabnya kami niat sekali mengikuti pelatihan dengan tema yang kebetulan pas banget dengan minat kita hahaha.

Setelah menempuh 4 jam perjalanan akhirnya travel kami sampai juga di Sarinah sekitar jam 1 siang. Kemudian kami berjalan kaki sebentar menuju Gedung BPPT yang jaraknya cukup dekat. Sesampainya di sana kami langsung menuju kantin di lantai dua untuk membeli makan nasi padang karena sedari di perjalanan tadi kami mengeluh sakit perut karena belum sempat sarapan haha. Begitu hidangan tiba seketika kita lahap memakannya. Dan menurut saya nasi padang di kantin BPPT ini enaaak banget (atau mungkin karena emang lagi kelaperan kali ya haha). Kalau kapan-kapan ke BPPT lagi saya mau makan di nasi padang itu lagi ahhh hehe.

Setelah makan selesai kami langsung bergegas naik lift menuju lantai 16 ke kantor DNPI. Di sana ternyata sudah ada belasan teman-teman YFCC lainnya yang kebanyakan berasal dari Jakarta dan Banten. Setelah menyapa mereka semua dan ngobrol sebentar, gatal rasanya mata saya tergelitik dengan meja operator di sudut ruangan itu yang berdiri dua orang bapak-bapak (pikir saya siapa tahu saya bisa menggali informasi lebih banyak lagi tentang DNPI). Akhirnya saya samperin meja tersebut memulai bertanya dengan mereka. Kemudian datanglah mas-mas menghampiri bertanya ada apa, ya sudah saya coba ngobrol dengan mas itu. Saya bertanya banyak dengan dia tentang DNPI ini dan prospek kerjanya di sini. Dijelaskan olehnya DNPI itu terbagi dari divisi kelompok kerja yang beragam, ada yang adaptasi, mitigasi, kehutanan/fungsi lahan, negosiasi internasional, carbon trading, teknologi, dll. Alhamdulillah senang sekali bisa menggali ilmu dan informasi dari mas ini. Setelah ngobrol-ngobrol cukup banyak dengannya saya diberi beberapa buku informasi tentang produk kerja terbitan DNPI seperti proceeding adaptasi-mitigasi daerah di Indonesia, laporan 5 tahun DNPI, booklet perubahan iklim, dll. Tak cukup puas sampai di situ (hehe karena tingkat penasaran saya dan tentu saja minat saya yang besar terhadap DNPI ini), saya bertanya apakah boleh saya coba office tour di sini? Dan mas itu langsung dengan senang hati mengantarkan saya muter-muter melihat isi ruangan di kantor DNPI. Ruang kantor DNPI yang saya lihat saat itu terlihat sepi karena memang pegawai-pegawainya banyak yang sedang dinas keluar kota. Ditambah para petinggi DNPI pun pada bertugas menghadiri konferensi UNFCCC COP 20 di Peru, Lima.

Oke, jadi office tour itu dimulai dari melihat ruang kerjanya Ketua Harian DNPI, Bapak Rachmat Witoelar (aaak saya ngefans sama Bapak dan bisa melihat ruang kerja Bapak aja udah seneng bangeeet!). Ruangan Ketua Harian DNPI ini paling luas karena diisi dengan sofa penerima tamu gitu. Meja kerjanya juga besar. Interiornya simple namun wah banget deh menurutku. Di depan ruangannya, ada cubicles meja asisten Ketua Harian DNPI. Aku tanya ke mas itu, asistennya lagi dimana, eh ternyata orangnya juga lagi ikut ke Peru. Yaiyalah kan tugasnya juga membantu Pak Rachmat selama kegiatan konferensi itu berlangsung di sana ya pasti. Dalam hati aku: aduh enak banget siiih :’) belum jadi Ketua Hariannya kayaknya jadi asistennya juga enak (cukup menantang) untuk dicoba. Lalu setelahnya kami berjalan menuju ruangan-ruangan lain dari pokja-pokja yang tadi sudah disebutkan di atas. Saya ditunjukkan dan diberitahukan sama masnya; ini ruangannya Bapak-Ibu si ini, si itu, blablabla (beberapa ada yang familiar, beberapa enggak sih haha). Dan di sana juga ada ruangan khusus Lembaga JICA karena memang lembaga dari Jepang ini bekerja sama dengan Indonesia di bidang perubahan iklim. Saya juga melihat beberapa orang Jepang di dalamnya. Kemudian setelah seluruh ruangan di lantai 16 kita putari, saya dan mas itu turun ke lantai 15 melihat ruangan-ruangan lainnya. Masih sama ditunjukkan ini ruangannya itu, itu ruangannya ini, dll. Adapun musola dan pantrynya sangat nyaman dan bersih. Cubicles pegawai lainnya pun juga tertata rapih. Huhu sumpah deh, suasana di kantor DNPI itu indaaah sekali! Pengen banget saya bisa bekerja di siniii :’)

Si mas itu pun tertawa melihat antusiasme saya saking terkesannya dengan kantor DNPI ini. Sampai akhirnya kita berkenalan dan nama mas itu adalah Mas Helly, dia kerja di bagian operator. Oke sudah cukup dengan office tournya, saya melihat kumpulan teman-teman yang lain sudah mengajak foto-foto bareng nih. Yaudah akhirnya kita sesi narsis dulu kali yaaa jeeeng~ hehe. Ini hasil keseruan foto-foto kita :3

Para peserta berfoto bersama
Peserta dari regional DKI Jakarta
Peserta dari regional Banten
Peserta dari regional Bandung (sedih cuma berdua haha)
Wefie seru 1
Wefie seru 2
Wefie seru 3
Wefie seru 4
Wefie seru 5
Wefie seru 6
Wefie seru 7
Wefie seru 8 bersama Mas Helly
Wefie seru 9
Wefie seru 10
Wefie seru 11
Wefie seru 12
Wefie seru 13
Wefie seru 14
Wefie seru 15
Wefie seru 16
Wefie seru 17
Wefie seru 18
Selesai foto-foto kita sholat ashar dulu bagi yang muslim. Di musola itu ada jendela kaca yang mengarahkan pemandangan ke jalanan Sarinah dengan gedung-gedung menjulang di sekitarnya ditambah dengan rintikan hujan. Romantis deh. Namun sayang saya tidak sempat mengabadikannya karena hp saya sedang di-charge. Setelah sholat kami langsung menuju lantai dasar untuk segera naik bis yang mengantarkan kita ke tempat pelatihan alumni diadakan, Hotel New Ayoeda, Bogor.

Di dalam bis saya duduk dengan Selly, dari UNJ, di kursi agak belakang. Sepanjang perjalanan yang paling ramai itu ya kelompok kursi bagian belakang, karena ada si lawak Diki, dari Uhamka, yang ga berhenti-hentinya ngelenong hahaha. Setelah masuk tol saya agak ngantuk jadinya saya sempetin tidur ayam. Tapi ga berapa lama kemudian bisnya ternyata sudah sampai lokasi! Tumben ga kejebak macet jadi perjalanan cuma makan waktu 2 jam-an aja.

Sampai di Hotel New Ayoeda kami langsung check-in dan aku dapat teman kamar sama Riska, dari Sampoerna Univeristy. Begitu masuk kamarnya, ih lucuuu warna interiornya dominan ungu gituuu :3
Warna kamarnya unyu :3
Abis beres-beres kita langsung sesi makan malam. Akhirnyaaa kita makan lagi! Sumpah karena tadi di bis dingin banget ya kita jadi laper lagi kan. Dan Alhamdulillahnya makanannya enak-enak semua. Di sana kita makan sambil ngobrol satu sama lain.
Dinner time berasa di hutan belantara mana gitu deh haha
Ga lama setelah makan aku ngerasa agak pusing dan lemes (yaiyalah aku ga sempet tidur dari semalemnya karena abis diskusi berkualitas *halah* sama Iga dan Ulma sampe subuh hahaha #plak). Aku langsung ke kamar boboan dan akhirnya beneran tidur sebentar ±1 jam gitu. Terus dibangunin sama Riska untuk siap-siap pelatihan sesi 1. Lumayan bangun-bangun udah agak mendingan.

Oke, pelatihan sesi 1 dimulai dengan topik Jejak Karbon dengan pemateri Mbak Debi dari DNPI Divisi Carbon Trading. *di sini saya mau coba membahas sedikit dari materi yang telah saya dapatkan dari pelatihan ini ya, sesuai hasil dari rangkuman catatan yang saya buat*
Mbak Debi menyampaikan materi tentang Jejak Karbon
Para peserta fokus mereview materi yang disampaikan
Jadi, Jejak Karbon itu simpelnya adalah jumlah emisi GRK yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Cara menghitung jejak karbon yaitu faktor emisi dikali dengan satuan aktivitas yang telah dilakukan. Kenapa sih kita harus mengetahui atau menghitung Jejak Karbon? Banyak manfaatnya. Beberapa di antaranya kita dapat mengidentifikasi potensi dan kontribusi mengenai penurunan emisi CO2 itu seperti apa dan bagaimana, tolak ukur (benchmark) bagi efisiensi untuk industri-industri yang sekarang mulai mengaplikasi konsep ‘go green’ seperti saat mempertimbangkan bagaimana pengelolaan limbah industri tersebut, hingga dapat dijadikan keuntungan sendiri bagi pemasaran (branding) suatu produk, contoh The Body Shop yang terkenal konsep dengan ‘eco friendly’-nya.

Berhubung tadi industri-industri dibahas, banyak pertanyaan mengenai industri itu sendiri dari ada yang menanyakan sebenarnya ada ga sih regulasi untuk industri-industri di Indonesia ini untuk menerapkan konsep Eco Green yang benar-benar dipertimbangkan sekali perhitungan jejak karbonnya sehingga menghasilkan emisi karbon yang serendah-rendahnya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya dari teman-teman lain.

Mbak Debi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan cukup jelas. Namun saking masih penasarannya kita dengan peran pemerintah yang kok kayaknya tidak berusaha serius dalam menahan perkembangan industri-industri yang merusak lingkungan itu dan bukannya turut serius mengeksekusi hal tersebut dalam rangka menurunkan emisi karbon…?

Kemudian diskusi menjadi semakin panas karena masih ada lemparan-lemparan pertanyaan demikian. Sampai akhirnya ada Kak Emot, dari DNPI Kelompok Kerja Teknologi, mulai angkat bicara mencoba meluruskan mindset kami sekaligus mencerahkan diskusi yang daritadi berputar-putar penasaran di satu pertanyaan itu.

Dia menjelaskan, perubahan iklim itu adalah isu pembangunan. Dalam pembangunan itu terdapat berbagai aspek-aspek pembangunan, termasuk aspek lingkungan. Nah perubahan iklim ini memang lebih erat dengan aspek lingkungan sehingga seringkali perubahan iklim ini dikenal sebagai isu lingkungan.

Dalam pembangunan itu semua negara berperan, baik negara maju maupun negara berkembang. Ibarat pesawat terbang penumpangnya berisi seluruh negara di dunia. Negara-negara maju duduk di kursi barisan depan (kelas bisnis), nah negara-negara berkembang berada di kursi barisan belakang (kelas ekonomi). Kalau pesawat itu jatuh, seluruh penumpang baik negara maju atau berkembang pun semuanya akan jatuh. Oleh sebab itu untuk memerangi perubahan iklim ini harus serentak dan sinergis secara global.

Tetapi, dampak dari pemanasan global dari isu perubahan iklim yang sekarang sedang kita alami ini berasal kebanyakan dari negara-negara maju. Ini (perubahan iklim) dosa mereka. Sehingga sudah seharusnya bagi pihak yang memberi dampak terbesar harus bertanggungjawab menanggulanginya paling besar pula. Karena negara-negara maju itu paling banyak menghasilkan emisi karbon, mereka lah yang sepatutnya berupaya tegas untuk menurunkan produksi emisi karbon itu.

Bagi Indonesia, negara berkembang, tidak wajib atau tidak prioritas di arah sana. Karena apa? Kita masih perlu meningkatkan ekonomi pembangunan kita. Tetapi dengan strategi kita boleh saja tetap meningkatkan pembangunan ekonomi, namun dengan fokus pembangunan rendah emisi atau dapat disebut dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan (berdasarkan keseimbangan 3 pilar utama; Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan). Seperti yang sudah diatur dalam RAN-GRK kita berencana menurunkan emisi karbon sebesar 26% dengan tetap mengacu pada rencana pembangunan ekonomi yang menargetkan pertumbuhkan ekonomi sebesar 7%.

Pemerintah lewat Bappenas pun juga sudah berupaya menyisipkan concern perubahan iklim ini di setiap rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan di Indonesia. Dan DNPI ini sebagai dewan tertinggi juga merangkap sebagai pengontrol isu perubahan iklim Indonesia juga sudah berhasil mengoordinasikan seluruh sektor pembangunan di Indonesia untuk aware terhadap isu perubahan iklim.

Kemudian saya tergelitik untuk bertanya lebih lanjut sama Kak Emot ini setelah sesi 1 selesai di sela-sela coffe break.

Saya bertanya, Kak seperti yang sudah kita ketahui jumlah emisi karbon di udara sudah mencapai 400 ppm, padahal kadar normalnya kan 350 ppm. Terus penelitian menyatakan kalau kita ga berbuat sesuatu grafik itu akan terus eksponensial hingga mencapai 450 ppm. Nah kalau balik ke statement Kak Emot tadi, kita ga wajib-wajib banget untuk menurunkan emisi tersebut, padahal sebenarnya kita bisa saja turut berinisiatif turut serta menurunkan emisi karbon Kak. Kalau mindset kita dipatok kita ga wajib-wajib banget, lalu kapan kita bisa mencapai goal untuk mengembalikan kadar normal emisi karbon ini Kak?

Kak Emot menjawab, kadar karbon 450 ppm kan global, Indonesia ga bisa sendirian mengusahakan menurunkan emisi sendiri. Indonesia bantu dengan negosisasi internasional. Kita akan dorong negara maju untuk menurunkan emisi, negara berkembang melakukan juga. Bukan berarti serta merta membuat Negara Indonesia tidak melakukan apapun, termasuk alih guna lahan. Kayak misalnya kita ga boleh buka lahan sama sekali. Hal itu kan ga bagus juga, karena ekonomi kita akan terhambat pastinya. Bagi negara maju nantinya mereka akan mendorong kita dengan pendanaan, teknologi. Sebenarnya ada lembaga BPPT yang paling hebat di Indonesia kalau soal teknologi. Tapi kalau udah naik ke Asia Tenggara, kita masih lebih kalah dibandingkan dengan mereka. Ya banyak lah faktor-faktor yang menghambat kenapa masih kalahnya, termasuk masalah organisasional, finansial, dll. Tapi dari BPPT sendiri juga sudah mampu memediasi negara-negara maju untuk bekerja sama dengan indonesia dalam bidang teknologi untuk pengaplikasian inovasi renewable energy di Indonesia. Kalau disandingkan dengan sama-sama negara berkembang seperti Thailand misalnya, mereka sudah lebih maju dari kita dalam hal teknologi energi terbarukan. Bahkan mereka jadi konsorsium bagi negara-negara Asia Pasifik dalam hal renewable energy.

Nah kembali lagi ke isu Indonesia harus menurunkan emisi karbon sebesar-besarnya, sebenarnya hal tersebut bukan prioritas negara kita untuk harus mutlak melakukan ini-itu, apalagi benar-benar menutup industri-industri hanya karena takut mereka akan mencemari lingkungan dan memberi dampak emisi karbon yang lebih banyak lagi yang semata-mata ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia. Tidak perlu seekstrim itu. Karena hal itu akan mempengaruhi tingkat ekonomi kita kan. Jadi strateginya adalah dengan benar-benar mengawasi keberjalanan Industri-industri tersebut untuk menerapkan konsep rendah emisi, seperti go green, eco friendly, dsb. Atau pengadaan renewable energy pada mesin-mesin industri mereka. Hal yang terpenting lagi, mekanisme manajemen dan pengelolaan limbahnya juga harus menjadi perhatian utama. Agar nantinya produksi emisi karbon bisa diminimalisir. Intinya pembangunan ekonomi tetap yang menjadi prioritas, tetapi dengan catatan harus sesuai dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang rendah emisi.

Setelah ngobrol panjang lebar sama Kak Emot ini saya langsung plong. Ceraaah banget! Banyak dapat perspektif dan ilmu baru di bidang teknologi. Terima kasih Kak Emot!

Hari kedua Pelatihan Alumni
Bermalam di kamar Hotel New Ayoeda Bogor cukup membuat tidur saya berkualitas dan nyenyak sampai-sampai saya baru bangun jam 8! Untung ga kebablasan! Hahaha. Segera loncat dari tempat tidur saya langsung ke kamar mandi, siap-siap, dan segala macamnya. Setelah rapih, saya menuju ke Dining Room untuk sarapan. Dan ternyata sudah banyak teman-teman lain di sana. Saya satu meja dengan Dani, dari IPB, dia adalah wakil ketua angkatan YFCC Indonesia 2014 yang masih menginjak semester 3 (duh tuir banget ye gue udah semester 9 gini wkwk). Saya cukup akrab dengan dia sedari waktu camp di Villa Ratu Bogor, November lalu. (Saya ingat pertama kali dia yang menghampiri saya berkenalan waktu malam pertama di villa. Besoknya, ngobrol bareng bertiga sama Kak Ari Wijanarko. Dan kebetulan di hari ketiga kami sekelompok dalam kelompok amazing race, *kelompok Undur-undur...cantiiik, cantiiik... Hehehe* jadinya udah lumayan dekat deh kita.) Sambil makan kami saling berdiskusi dari mengangkat pembahasan sesi 1 semalam, sampai sharing-sharing pengalaman dan passion masing-masing. Ya Dani ini sudah seperti adik saya sendiri deh. Anaknya sopan, hangat, kalem, dan pintar.

Jam menunjukkan pukul 9 mulailah pelatihan sesi 2. Kali ini masih membahas tentang Jejak Karbon namun lebih mendalam dan juga sudah disisipkan materi dari sektor pariwisatanya. Sesi 2 ini diisi oleh Bapak Yon Sugiarto, Pakar Klimatologi sekaligus Dosen Meteorologi dan Geofisika, IPB.
Pak Yon menyampaikan materi tentang Jejak Karbon dan Sektor Pariwisata
Sama seperti sesi 1 di atas tadi, saya akan coba sampaikan kembali hasil review berdasarkan catatan yang telah saya buat. Beliau menyampaikan, CO2 berasal paling banyak dari pembakaran fossil fuel (91% à Wow! Angka yang fantastis! Hmm memang benar deh kita musti stop penggunaan energi batubara yuk dan mulai switch ke energi alternatif terbarukan lainnya). Dan sisanya berasal dari land use change seperti konversi lahan hijau untuk lahan industri, deforestasi, dll (9%)

Dan CO2 itu juga sebenarnya secara alamiah dapat diserap dengan 1.) Atmosphere (50% à tapi kenyataannya kandungan atmosfir di udara saat ini sudah banyak tercemar emisi karbon dan terperangkap bersama dengan gas-gas rumah kaca lainnya), 2.) Forest (26% à tapi kenyataannya sekarang banyak terjadi deforestasi, pembalakan hutan illegal, konversi hutan primer menjadi lahan kelapa sawit, dll. Sedih ga sih? Hutan beserta pohon-pohon di dalamnya sebagai sumber penyerap karbon sekarang malah semakin hilang loh hiks. Yuk stop deforestasi! Dan mulai gerak untuk reforestasi dimanapun kita bisa, pekarangan rumah, taman, sawah, perkebunan, hingga hutan gundul sekalipun. Oke-oke?), dan 3.) Ocean (24% à yak jangan salah ternyata laut/samudera itu punya kemampuan dan kontribusi dalam menyerap karbon loh. Tapi kenyataannya penelitian membuktikan bahwa kandungan air laut sekarang sudah mencapai titik asam yang paling tinggi saking udah kebanyakannya mereka menyerap karbon. Ya bisa diketahui sendiri dampak air laut yang mengasam juga jadi mampu merubah ekosistem di dalamnya. Paling sedih karang-karang laut yang indah pun lama-lama banyak yang rusak dan mati akibat tidak tahan dengan keasaman air laut yang udah sangat tercemar ini. Hiksss)

Ya intinya perubahan iklim itu disebabkan oleh penduduk dunia yang kini kian meledak populasinya. Manusia-manusia di bumi itu berkembang seiring berkembangnya peradaban yang menimbulkan perkembangan segala aktivitas dan gaya hidup di bumi seperti sektor-sektor pembangunan. Aktivitas pembangunan yang sarat dengan aktifitas industri dll memproduksi gas buang yakni emisi karbon ke udara yang mempengaruhi atmosfir global. Dari perubahan kandungan gas buang yang terperangkap di atmosfir itulah yang membuat sinar matahari tidak dapat dipantulkan kembali sehingga yang terjadi malah terjebak di atmosfir bersama dengan konsentrasi gas rumah kaca yang kemudian kejadian inilah yang menghasilkan fenomena perubahan iklim global. Perubahan iklim beserta segala dampak ikutannya ini akhirnya kembali lagi mempengaruhi secara langsung kehidupan manusia di bumi. Siklus yang saling terkait itu dapat dijelaskan pada diagram berikut:
Siklus sebab-akibat perubahan iklim
Oh iya, kata Bapak Yon, sebenarnya bumi ini secara alamiah bisa loh merecovery dirinya untuk mendinginkan temperaturnya sendiri. Salah satunya dengan fenomena gunung berapi yang meletus. Pernah kejadian gunung meletus *gunung apa, dimana lokasinya, dan kapan kejadiannya saya lupa mencatat -_-* itu berhasil menurunkan suhu bumi sebesar 2 derajat. Tapi kan ga mungkin dan ga pengen juga kita mendapat kejadian gunung meletus tiap hari biar bisa meredam panas bumi yang semakin menjadi ini. Belum dampak gunung meletus itu selain bisa menghancurkan suatu wilayah juga bisa membinasakan manusia sekaligus dalam sekejap. Makanya, kuncinya itu kembali lagi ada di kita. Push di diri kita. Kalau kita ga mau bumi ini semakin panas, berbuat dan beraksi sesuatu lah yang dapat membantu bumi untuk mengurangi suhunya. Banyak cara-cara sederhana dan mudah yang dapat kita lakukan: hemat energi listrik, mengurangi pemakaian energi batubara, dan menggantinya dengan renewable energy, menjaga lingkungan, tidak membuang limbah sembarangan, mengaktifkan konsep 3R pada sampah pribadi, naik kendaraan umum, makan makanan lokal, merawat dan menanam pohon, dan masih banyak lagi.

Sekarang masuk ke bahasan ‘Climate Change & Tourism’
Pariwisata adalah sektor ekonomi yang paling sensitif terkena dampak perubahan iklim karena kebanyakan tujuan wisata bergantung dengan alam dan sumber daya lingkungannya. Dan seperti yang sudah saya contohkan di atas, perubahan kadar air laut yang semakin asam akibat menyerap emisi karbon itu dapat mengubah keseimbangan kandungan air laut yang berdampak pada ekosistem di dalamnya, seperti rusak dan matinya terumbu karang. Kalau sudah rusak dan mati, atraksi wisata apa lagi yang mampu mengundang minat wisatawan untuk berlibur ke daerah tersebut? Kemudian kalau udah tidak laku lagi tempatnya, daerah wisata itu pun lama-lama akan gulung tikar karena bangkrut. Tingkat ekonomi di daerah tersebut juga akan menurun seiring tidak adanya aktivitas pendapatan ekonomi yang bisa didapatkan dari sektor pariwisata tadi.

Tapi jangan salah, sebenarnya sektor pariwisata ini juga paling banyak menyumbang jejak karbonnya loh. Limbah-limbah pariwisata itu di antaranya berasal dari aktifitas perjalanan dari transportasi udara (40%), transportasi darat (32%), dan transportasi lainnya (3%). Hal ini dikarenakan alat transportasi tersebut masih menggunakan energi fosil sebagai bahan bakar utama pada pesawat, mobil, dan kendaraan bermotor lainnya. Adapun aktifitas dari komponen akomodasi (21%) disebabkan oleh limbah (padat, cair, gas) dari tempat penginapan dan perhotelan yang kurang dikelola dengan baik. *asik dapat inputan tambahan buat TA~*

Untuk mengurangi jejak karbon dalam sektor pariwisata itu bisa dilakukan dengan 1.) menggunakan moda transportasi yang lebih eco-friendly, seperti kereta api dan car-sharing à bagi para wisatawan, 2.) pengelolaan limbah dengan pengadaan IPAL yang terintegrasi à bagi pihak hotel, dan 3.) pengadaan energi terbarukan dan pengawasan lingkungan à bagi semuanya; pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Sebagai informasi, beberapa negara di Eropa sudah mengaktifkan carbon tax bagi penumpang pesawat. Mereka harus membayar $50-100 sebagai reimburse pengganti karbon yang mereka hasilkan dengan menggunakan pesawat tadi. Nantinya pajak tersebut dialokasikan kepada pembangunan taman-taman dengan membeli pohon lebih banyak lagi atau menyumbang pembuatan teknologi energi terbarukan di sana, seperti solar panel dan kincir angin. Hmm bagus yah inovasi pemerintah setempat. Walau para penumpang dan perusahaan maskapai penerbangan itu ‘berdosa’ karena paling besar mengonsumsi energi fosil sebagai bahan bakar utama pesawatnya, setidaknya mereka juga turut membangun sesuatu yang positif, yakni taman-taman, solar panel, dan kincir angin. Kapan nih Indonesia bisa kayak gitu? Next time kalau saya travelling pake pesawat, bakalan gapapa banget malah ikhlas seikhlas-ikhlasnya deh buat bayar pajak untuk pembangunan taman-taman atau pembangunan teknologi rendah emisi lainnya yang akan dibangun di Indonesia :3

Oh iya, Pak Yon sempat bertanya di forum tentang arti deret angka 280, 350, 401 itu apa sih? Hehe saya yang pernah mendapatkan pengetahuan tersebut di Workshop SwitchCamp dari 350 Indonesia, segera menjawab pertanyaan Pak Yon itu. Ya jadi 280 (ppm) itu adalah kadar emisi karbon di atmosfir bumi sebelum terjadinya masa Revolusi Industri. Nah seiring berkembangnya peradaban dan pembangunan industri-industri di dunia pun semakin banyak menyumbang emisi karbon tersebut. Nah 350 (ppm) itu batas aman emisi karbon yang seharusnya bumi emban. Tapi rekor 350 ppm itu terjadi di sekitar tahun 1990-an. Seiring berkembangnya waktu ditambah dengan fenomena ledakan penduduk dunia ya makin-makin mendesak kebutuhan akan lahan dan pembangunan industri-industri hingga gaya hidup manusia yang berubah menjadi over konsumtif sampai akhirnya kita sukses menyumbang emisi karbon dengan rekor sudah mencapai titik 401 ppm sekarang ini hiks.

Masih terkait dengan materi jejak karbon, ada fakta menarik sekaligus mengkhawatirkan nih. Lihat aja diagram dibawah ini:
Diagram 2795 GT CO2 reserved
Perhatikan kotak berwarna biru itu. Itu adalah gambaran kandungan emisi CO2 di atmosfir pada tahun 1750-an saat Revolusi Industri dimulai. Hingga peradaban dan perkembangan zaman semakin maju, diagram kandungan emisi CO2 itu pun juga semakin meningkat. Kini akibat segala aktifitas pembangunan manusia di bumi sudah mencapai 565 Giga Ton CO2 di ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius. Namun, ilmuwan mengatakan masih ada energi fosil yang siap dibakar hingga mampu memproduksi emisi sebesar 2795 Giga Ton CO2! Gila! Bayangkan kalau seandainya penduduk dunia terus mengonsumsi energi fosil terus-terusan, berapa banyak sumbangan karbon yang akan membebani atmosfir bumi ini nanti? :( Gimana dampak efek rumah kaca yang akan dihasilkannya, pasti akan semakin meningkatkan pemanasan global akibat terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 2 derajat celcius, sampai akhirnya fenomena perubahan iklim pun tidak dapat terelakkan lagi, bencana akan terjadi dimana-mana akibat dampak bawaan dari perubahan iklim itu! Hiks spontan saya langsung sedih mendengar kabar ini! :’(

Belum lagi waktu yang tersisa untuk kita sebelum bumi benar-benar mencapai kadar 450 ppm itu menurut ilmuwan hanya sekitar 20 tahun lagi! Hal ini berdasarkan perhitungan time series yang menunjukkan trend dari tahun ke tahunnya kadar emisi karbon di atmosfir terus eksponensial naik sebanyak 2 ppm. Sekarang aja udah mencapai 401 ppm. Nah kira-kira hitungan kasarnya kalau kita terus mengeluarkan emisi karbon tanpa aksi mitigasi yang serius, ya grafik itu akan terus naik mencapai 450 ppm dalam waktu 20 tahun lagi. Dan bisa dipastikan setelah mencapai titik 450 ppm, there’s no turning back! Bumi sudah akan hancur karena kenaikan 2 derajat celcius itu. Makanya, yuk benar-benar kita tanggapi secara serius isu perubahan iklim ini. Jangan sampai kita acuh terus-terusan hidup dalam pola terlalu konsumtif. Bijak-bijaklah menggunakan energi listrik. Hemat bukan berarti tidak memakai sama sekali dan menganggu aktifitas kehidupan. Hanya saja ingat untuk memakai secukupnya, matikan selebihnya. Dan berbagai aksi sederhana namun berarti lainnya yang bisa kita lakukan untuk mengupayakan peminimalisiran produksi emisi karbon.

Setelah sesi 2 selesai, lagi-lagi saya mengambil kesempatan bertanya jauh lebih dalam mengenai kegelisahan saya terkait fakta gambar diagram di atas. Saya curhat mengenai pemikiran saya dan bertanya, kalau sudah begitu gimana Pak, apa yang bisa kita lakukan?

Beliau menjawab, salah satu yang paling krusial dapat mencegah hal itu terjadi adalah dengan aksi mitigasi dari pembangunan energi terbarukan. Kita tahu Indonesia diapit oleh 2 samudera dan 2 benua, Indonesia pun terkenal dengan julukan ‘Ring of Fire’ –nya karena kaya dengan sumber daya dan bentang alamnya yang banyak memiliki hutan primer beserta pegunungan. Sehingga hal itu membuat Indonesia memiliki potensi akan energi panas bumi atau yang disebut geothermal energy. Nah, inilah yang harus coba kita kembangkan sekarang. Untuk mensubstitusi pemakaian energi fosil, kita bisa memulai pengembangan geothermal. Sebenarnya kita bisa saja membangun solar panel dan kincir angin, tetapi perlu diketahui bahwa koefisien angin di Indonesia tidak sebesar seperti di Negara Belanda, Jerman, atau Itali yang memang di sana kebanyakan sudah sukses memasang instalasi kincir angin secara serentak dan merata di pelosok daerah negaranya. Sehingga kurang cocok kalau kita menyadur aplikasi kincir angin sebagai energi terbarukan di Indonesia. Adapun instasi solar panel juga membutuhkan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, kita coba ambil solusi yang memang potensial dikembangkan sembari kita kroscek potensi apa yang banyak dimiliki Indonesia? Ya salah satunya potensi energi panas bumi itu tadi. Namun pengembangan energi panas bumi tidak serta merta sederhana juga. Berhubung energi panas bumi itu kebanyakan berada di hutan lindung, di sana harus ada konsolidasi perizinan pembukaan lahan untuk memasang aktifitas instalasi pengeboran serta turbin di daerah setempat. Nah ini yang agak sulit karena memainkan peran segala pihak baik dari departemen kehutanan, ESDM, lingkungan, hingga perencanaannya. Kamu kan anak plano, di sini kamu bisa main membantu mengadvokasi kebijakan-kebijakan terkait sehingga akhirnya dapat mempermudah proses keberjalanan pembangunan energi panas bumi ini. *wah mata saya langsung terbelalak haru mendengar saran dari Pak Yon. Mantap deh, Alhamdulillah background ilmu saya di PWK ini dapat berguna dan ada benang merahnya juga jika dikaitkan ke dalam passion yang saya minati ini. Huhuhu terimakasih banyak Pak Yon sudah mencerahkaaan :’)*

Berdiskusi dengan Pak Yon benar-benar membuat saya kaya dengan banyak ilmu baru! Perspekti saya terhadap bidang energi terbarukan semakin meluas. Ternyata tidak cuma solar panel atau kincir angin saja kita bisa bangun untuk mendukung kedaulatan energi bangsa. Kini ada alternative lain yang lebih solutif dan sesuai dengan potensi yang dimiliki Indonesia, yakni energi panas bumi. (mungkin bagi sebagian orang sudah pada tahu sebelumnya tentang ini. Tapi jujur saja kalau saya pribadi baru tahu banget tentang potensi energi panas bumi ini huehehe. Karena sebelumnya setelah mengikuti workshop 350 Indonesia yang berkunjung ke Desa Poncosari, Bantul, yang sudah sukses menerapkan PLTH di sana, saya sering mendukung dan mengampanyekan baru sebatas solar panel dan kincir angin saja di setiap diskusi. Namun kali ini setelah saya mendapat ilmu baru dari Pak Yon, saya akan coba menilik dan meneliti lebih dalam lagi segala proses yang berkaitan dengan pengembangan energi panas bumi ini.)

Pikir saya, karena Indonesia memiliki potensi daerah yang berbeda-beda satu sama lain, ada baiknya pengadaan energi terbarukan disesuaikan dengan potensi daerahnya masing-masing. Jika memang di suatu daerah itu kaya dengan potensi angin seperti daerah yang memiliki pesisir pantai, boleh saja kita tetap membangun kincir angin. Begitu juga dengan daerah yang kaya dengan sinar mataharinya seperti daerah-daerah yang dilewati garis khatulistiwa, bisa saja dikembangkan pembangunan solar panel di wilayah-wilayahnya. Dan bagi daerah yang memiliki titik-titik potensi energi panas bumi, mari coba bersama didukung-dan-kembangkan! Semoga pemerintah pusat mempercepat proyek pengadaan energi terbarukan dari energi panas bumi ini. Dan saya, sebagai mahasiswa Planologi yang memiliki passion besar terhadap Climate Change Policy, saya akan mencoba meranah ke sana setelah saya lulus kelak. Saya bisa memanfatkan ilmu terkait kebijakan pembangunan yang saya pelajari selama ini, serta saya bisa mengembangkan minat yang saya miliki :)

Overall, saya sangat bersyukur bisa terpilih lolos di acara YFCC Indonesia yang membukakan pintu gerbang saya bertemu dengan orang-orang hebat yang sudah ahli di bidang ini dan saya pun belajar banyaaakkk hal dari mereka semua. Terima kasih sebesar-besarnya untuk DNPI Indonesia sudah menyediakan kesempatan berharga ini yang akan saya manfaatkan sebaik-baiknya demi masa depan saya.

Okeeey, seusai berdiskusi cukup intens dengan Pak Yon, saya kembali ke kamar. Di sana terlihat Riska sudah terlihat rapi karena sudah beberes packing. Giliran saya yang packing. Kita pun sambil bercerita-cerita mengenai aktifitas ke depan yang akan kita coba ikuti bersama hehehe.

Sebelum pulang kami semua makan siang dulu untuk yang terakhir kalinya. Suasana Kota Bogor saat itu nyaman sekali karena sedang cantik-cantiknya turun hujan gerimis. Selesai makan kami berpamitan dengan peserta dari Bogor, Alin, Dani, dan Tama. Setelah foto bersama di depan pintu utama Hotel New Ayoeda, baru lah kami menuju bis kepulangan yang akan mengantarkan kami kembali ke kantor DNPI di Jakarta.
Sayonara kawan, sampai bertemu lagi :)
Sesampainya di Jakarta, saya memilih untuk pulang ke rumah dulu (ga langsung balik ke Bandung). Di rumah saya bercerita dengan kedua orangtua saya atas apa yang telah saya dapatkan selama 2 hari pelatihan di Bogor. Respon mereka pun senang dan sangat mendukung atas apa yang telah saya komitmenkan; passion di bidang Environmental Management dan Climate Change Policy ini. Kelak insyaAllah aku akan berusaha sukses dengan pilihan passion yang aku ambil ini, Mah, Pah :)

Sekarang tugas saya selanjutnya adalah fokus menyelesaikan dan mengumpulkan TA dulu untuk mengejar Wisuda Maret (haduuuh deg-degan nih deadline pengumpulan draft sidang pembahasan bulan depan coooy! Semangat semangat! Bismillah pasti bisa kekejar! Aamiin). Setelahnya akan saya coba mulai satu persatu melangkahkan diri secara pasti menuju semua goal saya ke depan.

Bismillahirrahmanirrahiim...

Bandung, 10 Desember 2014
Irene Sarah