Jumat
5 Desember 2014 kemarin aku dan Ando, dari Telkom University, pergi ke Jakarta dari Bandung untuk
mengikuti pelatihan alumni YFCC Indonesia. Tadinya sih mau barengan sama
temen-temen YFCC Jabar 2 yang lain, tapi mereka pada batal hadir dikarenakan ada
halangan mendadak. Jadinya walaupun cuma berdua doang kita tetep cabut dikarenakan
pelatihan kali ini temanya sangat mengasyikan sekali “Jejak Karbon dalam Sektor Pariwisata dan Perhotelan”.
Selama
di perjalanan, aku dan Ando bercerita mengenai kesibukan masing-masing dari
topik perkuliahan hingga bercerita mengenai betapa indahnya Medan, kampung
aslinya Ando, karena memiliki destinasi wisata yang paling sering dikunjungi
wisatawan, yakni desa di pinggiran dan pantai sekitar Danau Toba. Mendengar
ceritanya Ando ini aku jadi semakin pengen ke sana deh! Dan berhubung ngomongin
soal wisata, akhirnya kami sama-sama tahu bahwa kita menaruh minat yang sama
yakni di sektor pariwisata. Itulah sebabnya kami niat sekali mengikuti
pelatihan dengan tema yang kebetulan pas banget dengan minat kita hahaha.
Setelah
menempuh 4 jam perjalanan akhirnya travel kami sampai juga di Sarinah sekitar
jam 1 siang. Kemudian kami berjalan kaki sebentar menuju Gedung BPPT yang jaraknya
cukup dekat. Sesampainya di sana kami langsung menuju kantin di lantai dua
untuk membeli makan nasi padang karena sedari di perjalanan tadi kami mengeluh
sakit perut karena belum sempat sarapan haha. Begitu hidangan tiba seketika
kita lahap memakannya. Dan menurut saya nasi padang di kantin BPPT ini enaaak
banget (atau mungkin karena emang lagi kelaperan kali ya haha). Kalau
kapan-kapan ke BPPT lagi saya mau makan di nasi padang itu lagi ahhh hehe.
Setelah
makan selesai kami langsung bergegas naik lift menuju lantai 16 ke kantor DNPI.
Di sana ternyata sudah ada belasan teman-teman YFCC lainnya yang kebanyakan berasal
dari Jakarta dan Banten. Setelah menyapa mereka semua dan ngobrol sebentar, gatal
rasanya mata saya tergelitik dengan meja operator di sudut ruangan itu yang berdiri
dua orang bapak-bapak (pikir saya siapa tahu saya bisa menggali informasi lebih
banyak lagi tentang DNPI). Akhirnya saya samperin meja tersebut memulai bertanya
dengan mereka. Kemudian datanglah mas-mas menghampiri bertanya ada apa, ya
sudah saya coba ngobrol dengan mas itu. Saya bertanya banyak dengan dia tentang
DNPI ini dan prospek kerjanya di sini. Dijelaskan olehnya DNPI itu terbagi dari
divisi kelompok kerja yang beragam, ada yang adaptasi, mitigasi, kehutanan/fungsi
lahan, negosiasi internasional, carbon trading, teknologi, dll. Alhamdulillah
senang sekali bisa menggali ilmu dan informasi dari mas ini. Setelah ngobrol-ngobrol
cukup banyak dengannya saya diberi beberapa buku informasi tentang produk kerja
terbitan DNPI seperti proceeding adaptasi-mitigasi daerah di Indonesia, laporan
5 tahun DNPI, booklet perubahan iklim, dll. Tak cukup puas sampai di situ
(hehe karena tingkat penasaran saya dan tentu saja minat saya yang besar
terhadap DNPI ini), saya bertanya apakah boleh saya coba office tour di sini?
Dan mas itu langsung dengan senang hati mengantarkan saya muter-muter melihat
isi ruangan di kantor DNPI. Ruang kantor DNPI yang saya lihat saat itu terlihat
sepi karena memang pegawai-pegawainya banyak yang sedang dinas keluar kota.
Ditambah para petinggi DNPI pun pada bertugas menghadiri konferensi UNFCCC COP
20 di Peru, Lima.
Oke,
jadi office tour itu dimulai dari melihat ruang kerjanya Ketua Harian DNPI,
Bapak Rachmat Witoelar (aaak saya ngefans sama Bapak dan bisa melihat ruang
kerja Bapak aja udah seneng bangeeet!). Ruangan Ketua Harian DNPI ini paling
luas karena diisi dengan sofa penerima tamu gitu. Meja kerjanya juga besar.
Interiornya simple namun wah banget deh menurutku. Di depan ruangannya, ada
cubicles meja asisten Ketua Harian DNPI. Aku tanya ke mas itu, asistennya lagi
dimana, eh ternyata orangnya juga lagi ikut ke Peru. Yaiyalah kan tugasnya juga
membantu Pak Rachmat selama kegiatan konferensi itu berlangsung di sana ya
pasti. Dalam hati aku: aduh enak banget siiih :’) belum jadi Ketua Hariannya
kayaknya jadi asistennya juga enak (cukup menantang) untuk dicoba. Lalu
setelahnya kami berjalan menuju ruangan-ruangan lain dari pokja-pokja yang tadi
sudah disebutkan di atas. Saya ditunjukkan dan diberitahukan sama masnya; ini
ruangannya Bapak-Ibu si ini, si itu, blablabla (beberapa ada yang familiar,
beberapa enggak sih haha). Dan di sana juga ada ruangan khusus Lembaga JICA
karena memang lembaga dari Jepang ini bekerja sama dengan Indonesia di bidang
perubahan iklim. Saya juga melihat beberapa orang Jepang di dalamnya. Kemudian
setelah seluruh ruangan di lantai 16 kita putari, saya dan mas itu turun ke
lantai 15 melihat ruangan-ruangan lainnya. Masih sama ditunjukkan ini
ruangannya itu, itu ruangannya ini, dll. Adapun musola dan pantrynya sangat
nyaman dan bersih. Cubicles pegawai lainnya pun juga tertata rapih. Huhu sumpah
deh, suasana di kantor DNPI itu indaaah sekali! Pengen banget saya bisa bekerja
di siniii :’)
Si
mas itu pun tertawa melihat antusiasme saya saking terkesannya dengan kantor
DNPI ini. Sampai akhirnya kita berkenalan dan nama mas itu adalah Mas Helly,
dia kerja di bagian operator. Oke sudah cukup dengan office tournya, saya
melihat kumpulan teman-teman yang lain sudah mengajak foto-foto bareng nih. Yaudah
akhirnya kita sesi narsis dulu kali yaaa jeeeng~ hehe. Ini hasil keseruan
foto-foto kita :3
|
Para peserta berfoto bersama |
|
Peserta dari regional DKI Jakarta |
|
Peserta dari regional Banten |
|
Peserta dari regional Bandung (sedih cuma berdua haha) |
|
Wefie seru 1 |
|
Wefie seru 2 |
|
Wefie seru 3 |
|
Wefie seru 4 |
|
Wefie seru 5 |
|
Wefie seru 6 |
|
Wefie seru 7 |
|
Wefie seru 8 bersama Mas Helly |
|
Wefie seru 9 |
|
Wefie seru 10 |
|
Wefie seru 11 |
|
Wefie seru 12 |
|
Wefie seru 13 |
|
Wefie seru 14 |
|
Wefie seru 15 |
|
Wefie seru 16 |
|
Wefie seru 17 |
|
Wefie seru 18 |
Selesai foto-foto kita sholat ashar dulu bagi yang muslim. Di musola itu ada jendela kaca yang mengarahkan pemandangan ke jalanan Sarinah dengan gedung-gedung menjulang
di sekitarnya ditambah dengan rintikan hujan. Romantis deh. Namun sayang saya
tidak sempat mengabadikannya karena hp saya sedang di-charge. Setelah sholat
kami langsung menuju lantai dasar untuk segera naik bis yang mengantarkan kita
ke tempat pelatihan alumni diadakan, Hotel New Ayoeda, Bogor.
Di
dalam bis saya duduk dengan Selly, dari UNJ, di kursi agak belakang. Sepanjang
perjalanan yang paling ramai itu ya kelompok kursi bagian belakang, karena ada
si lawak Diki, dari Uhamka, yang ga berhenti-hentinya ngelenong hahaha. Setelah
masuk tol saya agak ngantuk jadinya saya sempetin tidur ayam. Tapi ga berapa lama
kemudian bisnya ternyata sudah sampai lokasi! Tumben ga kejebak macet jadi perjalanan cuma
makan waktu 2 jam-an aja.
Sampai
di Hotel New Ayoeda kami langsung check-in dan aku dapat teman kamar sama Riska,
dari Sampoerna Univeristy. Begitu masuk kamarnya, ih lucuuu warna interiornya
dominan ungu gituuu :3
|
Warna kamarnya unyu :3 |
Abis
beres-beres kita langsung sesi makan malam. Akhirnyaaa kita makan lagi! Sumpah
karena tadi di bis dingin banget ya kita jadi laper lagi kan. Dan Alhamdulillahnya makanannya enak-enak semua. Di sana kita makan sambil ngobrol
satu sama lain.
|
Dinner time berasa di hutan belantara mana gitu deh haha |
Ga lama setelah makan aku ngerasa agak pusing dan lemes
(yaiyalah aku ga sempet tidur dari semalemnya karena abis diskusi berkualitas *halah* sama Iga dan Ulma sampe subuh hahaha #plak). Aku langsung ke kamar boboan dan
akhirnya beneran tidur sebentar ±1 jam gitu. Terus dibangunin sama
Riska untuk siap-siap pelatihan sesi 1. Lumayan bangun-bangun udah agak mendingan.
Oke,
pelatihan sesi 1 dimulai dengan topik Jejak Karbon dengan pemateri Mbak Debi
dari DNPI Divisi Carbon Trading. *di sini saya mau coba membahas sedikit dari materi
yang telah saya dapatkan dari pelatihan ini ya, sesuai hasil dari rangkuman catatan
yang saya buat*
|
Mbak Debi menyampaikan materi tentang Jejak Karbon |
|
Para peserta fokus mereview materi yang disampaikan |
Jadi, Jejak Karbon itu simpelnya adalah jumlah emisi GRK yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia. Cara menghitung jejak karbon yaitu faktor emisi dikali dengan satuan aktivitas yang telah dilakukan. Kenapa sih kita harus
mengetahui atau menghitung Jejak Karbon? Banyak manfaatnya. Beberapa di
antaranya kita dapat mengidentifikasi potensi dan kontribusi mengenai penurunan
emisi CO2 itu seperti apa dan bagaimana, tolak ukur (benchmark) bagi efisiensi
untuk industri-industri yang sekarang mulai mengaplikasi konsep ‘go green’
seperti saat mempertimbangkan bagaimana pengelolaan limbah industri tersebut,
hingga dapat dijadikan keuntungan sendiri bagi pemasaran (branding) suatu produk,
contoh The Body Shop yang terkenal konsep dengan ‘eco friendly’-nya.
Berhubung
tadi industri-industri dibahas, banyak pertanyaan mengenai industri itu sendiri
dari ada yang menanyakan sebenarnya ada ga sih regulasi untuk industri-industri
di Indonesia ini untuk menerapkan konsep Eco Green yang benar-benar
dipertimbangkan sekali perhitungan jejak karbonnya sehingga menghasilkan emisi
karbon yang serendah-rendahnya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan
kritis lainnya dari teman-teman lain.
Mbak
Debi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan cukup jelas. Namun saking masih
penasarannya kita dengan peran pemerintah yang kok kayaknya tidak berusaha
serius dalam menahan perkembangan industri-industri yang merusak lingkungan itu
dan bukannya turut serius mengeksekusi hal tersebut dalam rangka menurunkan
emisi karbon…?
Kemudian
diskusi menjadi semakin panas karena masih ada lemparan-lemparan pertanyaan
demikian. Sampai akhirnya ada Kak Emot, dari DNPI Kelompok Kerja Teknologi, mulai angkat
bicara mencoba meluruskan mindset kami sekaligus mencerahkan diskusi yang
daritadi berputar-putar penasaran di satu pertanyaan itu.
Dia
menjelaskan, perubahan iklim itu adalah isu pembangunan. Dalam pembangunan itu
terdapat berbagai aspek-aspek pembangunan, termasuk aspek lingkungan. Nah
perubahan iklim ini memang lebih erat dengan aspek lingkungan sehingga
seringkali perubahan iklim ini dikenal sebagai isu lingkungan.
Dalam
pembangunan itu semua negara berperan, baik negara maju maupun negara
berkembang. Ibarat pesawat terbang penumpangnya berisi seluruh negara di dunia.
Negara-negara maju duduk di kursi barisan depan (kelas bisnis), nah negara-negara
berkembang berada di kursi barisan belakang (kelas ekonomi). Kalau pesawat itu jatuh, seluruh
penumpang baik negara maju atau berkembang pun semuanya akan jatuh. Oleh sebab
itu untuk memerangi perubahan iklim ini harus serentak dan sinergis secara
global.
Tetapi,
dampak dari pemanasan global dari isu perubahan iklim yang sekarang sedang kita
alami ini berasal kebanyakan dari negara-negara maju. Ini (perubahan iklim) dosa mereka.
Sehingga sudah seharusnya bagi pihak yang memberi dampak terbesar harus
bertanggungjawab menanggulanginya paling besar pula. Karena negara-negara maju itu paling
banyak menghasilkan emisi karbon, mereka lah yang sepatutnya berupaya tegas untuk
menurunkan produksi emisi karbon itu.
Bagi
Indonesia, negara berkembang, tidak wajib atau tidak prioritas di arah sana.
Karena apa? Kita masih perlu meningkatkan ekonomi pembangunan kita. Tetapi
dengan strategi kita boleh saja tetap meningkatkan pembangunan ekonomi, namun
dengan fokus pembangunan rendah emisi atau dapat disebut dengan konsep
Pembangunan Berkelanjutan (berdasarkan keseimbangan 3 pilar utama; Ekonomi,
Sosial, dan Lingkungan). Seperti yang sudah diatur dalam RAN-GRK kita berencana
menurunkan emisi karbon sebesar 26% dengan tetap mengacu pada rencana
pembangunan ekonomi yang menargetkan pertumbuhkan ekonomi sebesar 7%.
Pemerintah
lewat Bappenas pun juga sudah berupaya menyisipkan concern perubahan iklim ini
di setiap rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan di Indonesia. Dan
DNPI ini sebagai dewan tertinggi juga merangkap sebagai pengontrol isu
perubahan iklim Indonesia juga sudah berhasil mengoordinasikan seluruh sektor
pembangunan di Indonesia untuk aware terhadap isu perubahan iklim.
Kemudian
saya tergelitik untuk bertanya lebih lanjut sama Kak Emot ini setelah sesi 1
selesai di sela-sela coffe break.
Saya
bertanya, Kak seperti yang sudah kita ketahui jumlah emisi karbon di udara
sudah mencapai 400 ppm, padahal kadar normalnya kan 350 ppm. Terus penelitian
menyatakan kalau kita ga berbuat sesuatu grafik itu akan terus eksponensial
hingga mencapai 450 ppm. Nah kalau balik ke statement Kak Emot tadi, kita ga
wajib-wajib banget untuk menurunkan emisi tersebut, padahal sebenarnya kita
bisa saja turut berinisiatif turut serta menurunkan emisi karbon Kak. Kalau
mindset kita dipatok kita ga wajib-wajib banget, lalu kapan kita bisa mencapai
goal untuk mengembalikan kadar normal emisi karbon ini Kak?
Kak Emot menjawab, kadar
karbon 450 ppm kan global, Indonesia ga bisa sendirian mengusahakan menurunkan
emisi sendiri. Indonesia bantu dengan negosisasi internasional. Kita akan
dorong negara maju untuk menurunkan emisi, negara berkembang melakukan juga.
Bukan berarti serta merta membuat Negara Indonesia tidak melakukan apapun,
termasuk alih guna lahan. Kayak misalnya kita ga boleh buka lahan sama sekali.
Hal itu kan ga bagus juga, karena ekonomi kita akan terhambat pastinya. Bagi negara
maju nantinya mereka akan mendorong kita dengan pendanaan, teknologi.
Sebenarnya ada lembaga BPPT yang paling hebat di Indonesia kalau soal
teknologi. Tapi kalau udah naik ke Asia Tenggara, kita masih lebih kalah
dibandingkan dengan mereka. Ya banyak lah faktor-faktor yang menghambat kenapa
masih kalahnya, termasuk masalah organisasional, finansial, dll. Tapi dari BPPT
sendiri juga sudah mampu memediasi negara-negara maju untuk bekerja sama dengan
indonesia dalam bidang teknologi untuk pengaplikasian inovasi renewable energy
di Indonesia. Kalau disandingkan dengan sama-sama negara berkembang seperti Thailand misalnya, mereka sudah lebih
maju dari kita dalam hal teknologi energi terbarukan. Bahkan mereka jadi
konsorsium bagi negara-negara Asia Pasifik dalam hal renewable energy.
Nah
kembali lagi ke isu Indonesia harus menurunkan emisi karbon sebesar-besarnya, sebenarnya hal tersebut bukan prioritas negara kita untuk harus mutlak melakukan
ini-itu, apalagi benar-benar menutup industri-industri hanya karena takut
mereka akan mencemari lingkungan dan memberi dampak emisi karbon yang lebih
banyak lagi yang semata-mata ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di
Indonesia. Tidak perlu seekstrim itu. Karena hal itu akan mempengaruhi tingkat
ekonomi kita kan. Jadi strateginya adalah dengan benar-benar mengawasi
keberjalanan Industri-industri tersebut untuk menerapkan konsep rendah emisi, seperti
go green, eco friendly, dsb. Atau pengadaan renewable energy pada mesin-mesin industri
mereka. Hal yang terpenting lagi, mekanisme manajemen dan pengelolaan limbahnya
juga harus menjadi perhatian utama. Agar nantinya produksi emisi karbon bisa diminimalisir.
Intinya pembangunan ekonomi tetap yang menjadi prioritas, tetapi dengan catatan
harus sesuai dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang rendah emisi.
Setelah
ngobrol panjang lebar sama Kak Emot ini saya langsung plong. Ceraaah banget!
Banyak dapat perspektif dan ilmu baru di bidang teknologi.
Terima kasih Kak Emot!
Hari
kedua Pelatihan Alumni
Bermalam
di kamar Hotel New Ayoeda Bogor cukup membuat tidur saya berkualitas dan nyenyak
sampai-sampai saya baru bangun jam 8! Untung ga kebablasan! Hahaha. Segera loncat
dari tempat tidur saya langsung ke kamar mandi, siap-siap, dan segala macamnya.
Setelah rapih, saya menuju ke Dining Room untuk sarapan. Dan ternyata sudah
banyak teman-teman lain di sana. Saya satu meja dengan Dani, dari IPB, dia
adalah wakil ketua angkatan YFCC Indonesia 2014 yang masih menginjak semester 3
(duh tuir banget ye gue udah semester 9 gini wkwk). Saya cukup akrab dengan dia
sedari waktu camp di Villa Ratu Bogor, November lalu. (Saya ingat pertama kali dia yang
menghampiri saya berkenalan waktu malam pertama di villa. Besoknya, ngobrol bareng bertiga sama Kak Ari Wijanarko. Dan kebetulan di hari ketiga kami
sekelompok dalam kelompok amazing race, *kelompok Undur-undur...cantiiik, cantiiik... Hehehe* jadinya udah lumayan dekat deh kita.) Sambil
makan kami saling berdiskusi dari mengangkat pembahasan sesi 1 semalam, sampai
sharing-sharing pengalaman dan passion masing-masing. Ya Dani ini sudah seperti
adik saya sendiri deh. Anaknya sopan, hangat, kalem, dan pintar.
Jam
menunjukkan pukul 9 mulailah pelatihan sesi 2. Kali ini masih membahas tentang
Jejak Karbon namun lebih mendalam dan juga sudah disisipkan materi dari sektor pariwisatanya. Sesi 2 ini diisi oleh Bapak Yon Sugiarto, Pakar Klimatologi
sekaligus Dosen Meteorologi dan Geofisika, IPB.
|
Pak Yon menyampaikan materi tentang Jejak Karbon dan Sektor Pariwisata |
Sama
seperti sesi 1 di atas tadi, saya akan coba sampaikan kembali hasil review
berdasarkan catatan yang telah saya buat. Beliau menyampaikan, CO2 berasal
paling banyak dari pembakaran fossil fuel (91% à Wow! Angka yang fantastis!
Hmm memang benar deh kita musti stop penggunaan energi batubara yuk dan mulai
switch ke energi alternatif terbarukan lainnya). Dan sisanya berasal dari land
use change seperti konversi lahan hijau untuk lahan industri, deforestasi, dll
(9%)
Dan
CO2 itu juga sebenarnya secara alamiah dapat diserap dengan 1.) Atmosphere (50% à tapi kenyataannya kandungan
atmosfir di udara saat ini sudah banyak tercemar emisi karbon dan terperangkap
bersama dengan gas-gas rumah kaca lainnya), 2.) Forest (26% à tapi kenyataannya sekarang
banyak terjadi deforestasi, pembalakan hutan illegal, konversi hutan primer
menjadi lahan kelapa sawit, dll. Sedih ga sih? Hutan beserta pohon-pohon di dalamnya
sebagai sumber penyerap karbon sekarang malah semakin hilang loh hiks. Yuk stop
deforestasi! Dan mulai gerak untuk reforestasi dimanapun kita bisa, pekarangan
rumah, taman, sawah, perkebunan, hingga hutan gundul sekalipun. Oke-oke?), dan
3.) Ocean (24% à yak jangan salah ternyata laut/samudera itu punya kemampuan dan kontribusi
dalam menyerap karbon loh. Tapi kenyataannya penelitian membuktikan bahwa
kandungan air laut sekarang sudah mencapai titik asam yang paling tinggi saking
udah kebanyakannya mereka menyerap karbon. Ya bisa diketahui sendiri dampak air
laut yang mengasam juga jadi mampu merubah ekosistem di dalamnya. Paling sedih
karang-karang laut yang indah pun lama-lama banyak yang rusak dan mati akibat
tidak tahan dengan keasaman air laut yang udah sangat tercemar ini. Hiksss)
Ya
intinya perubahan iklim itu disebabkan oleh penduduk dunia yang kini kian
meledak populasinya. Manusia-manusia di bumi itu berkembang seiring
berkembangnya peradaban yang menimbulkan perkembangan segala aktivitas dan gaya
hidup di bumi seperti sektor-sektor pembangunan. Aktivitas pembangunan yang
sarat dengan aktifitas industri dll memproduksi gas buang yakni emisi karbon ke
udara yang mempengaruhi atmosfir global. Dari perubahan kandungan gas buang
yang terperangkap di atmosfir itulah yang membuat sinar matahari tidak dapat
dipantulkan kembali sehingga yang terjadi malah terjebak di atmosfir bersama
dengan konsentrasi gas rumah kaca yang kemudian kejadian inilah yang
menghasilkan fenomena perubahan iklim global. Perubahan iklim beserta segala
dampak ikutannya ini akhirnya kembali lagi mempengaruhi secara langsung
kehidupan manusia di bumi. Siklus yang saling terkait itu dapat dijelaskan pada
diagram berikut:
|
Siklus sebab-akibat perubahan iklim |
Oh
iya, kata Bapak Yon, sebenarnya bumi ini secara alamiah bisa loh merecovery
dirinya untuk mendinginkan temperaturnya sendiri. Salah satunya dengan fenomena
gunung berapi yang meletus. Pernah kejadian gunung meletus *gunung apa, dimana
lokasinya, dan kapan kejadiannya saya lupa mencatat -_-* itu berhasil
menurunkan suhu bumi sebesar 2 derajat. Tapi kan ga mungkin dan ga pengen juga
kita mendapat kejadian gunung meletus tiap hari biar bisa meredam panas bumi
yang semakin menjadi ini. Belum dampak gunung meletus itu selain bisa
menghancurkan suatu wilayah juga bisa membinasakan manusia sekaligus dalam
sekejap. Makanya, kuncinya itu kembali lagi ada di kita. Push di diri kita.
Kalau kita ga mau bumi ini semakin panas, berbuat dan beraksi sesuatu lah yang
dapat membantu bumi untuk mengurangi suhunya. Banyak cara-cara sederhana dan
mudah yang dapat kita lakukan: hemat energi listrik, mengurangi pemakaian
energi batubara, dan menggantinya dengan renewable energy, menjaga lingkungan,
tidak membuang limbah sembarangan, mengaktifkan konsep 3R pada sampah pribadi,
naik kendaraan umum, makan makanan lokal, merawat dan menanam pohon, dan masih
banyak lagi.
Sekarang
masuk ke bahasan ‘Climate Change & Tourism’
Pariwisata
adalah sektor ekonomi yang paling sensitif terkena dampak perubahan iklim
karena kebanyakan tujuan wisata bergantung dengan alam dan sumber daya
lingkungannya. Dan seperti yang sudah saya contohkan di atas, perubahan kadar
air laut yang semakin asam akibat menyerap emisi karbon itu dapat mengubah
keseimbangan kandungan air laut yang berdampak pada ekosistem di dalamnya,
seperti rusak dan matinya terumbu karang. Kalau sudah rusak dan mati, atraksi
wisata apa lagi yang mampu mengundang minat wisatawan untuk berlibur ke daerah
tersebut? Kemudian kalau udah tidak laku lagi tempatnya, daerah wisata itu pun
lama-lama akan gulung tikar karena bangkrut. Tingkat ekonomi di daerah tersebut
juga akan menurun seiring tidak adanya aktivitas pendapatan ekonomi yang bisa
didapatkan dari sektor pariwisata tadi.
Tapi
jangan salah, sebenarnya sektor pariwisata ini juga paling banyak menyumbang
jejak karbonnya loh. Limbah-limbah pariwisata itu di antaranya berasal dari
aktifitas perjalanan dari transportasi udara (40%), transportasi darat (32%),
dan transportasi lainnya (3%). Hal ini dikarenakan alat transportasi tersebut
masih menggunakan energi fosil sebagai bahan bakar utama pada pesawat, mobil,
dan kendaraan bermotor lainnya. Adapun aktifitas dari komponen akomodasi (21%)
disebabkan oleh limbah (padat, cair, gas) dari tempat penginapan dan perhotelan
yang kurang dikelola dengan baik. *asik dapat inputan tambahan buat TA~*
Untuk
mengurangi jejak karbon dalam sektor pariwisata itu bisa dilakukan dengan 1.)
menggunakan moda transportasi yang lebih eco-friendly, seperti kereta api dan
car-sharing à bagi para wisatawan, 2.) pengelolaan limbah dengan pengadaan IPAL yang
terintegrasi à bagi pihak hotel, dan 3.) pengadaan energi terbarukan dan pengawasan lingkungan à bagi semuanya; pemerintah,
swasta, dan masyarakat.
Sebagai
informasi, beberapa negara di Eropa sudah mengaktifkan carbon tax bagi penumpang pesawat.
Mereka harus membayar $50-100 sebagai reimburse pengganti karbon yang mereka
hasilkan dengan menggunakan pesawat tadi. Nantinya pajak tersebut dialokasikan
kepada pembangunan taman-taman dengan membeli pohon lebih banyak lagi atau
menyumbang pembuatan teknologi energi terbarukan di sana, seperti solar panel
dan kincir angin. Hmm bagus yah inovasi pemerintah setempat. Walau para
penumpang dan perusahaan maskapai penerbangan itu ‘berdosa’ karena paling besar
mengonsumsi energi fosil sebagai bahan bakar utama pesawatnya, setidaknya
mereka juga turut membangun sesuatu yang positif, yakni taman-taman, solar
panel, dan kincir angin. Kapan nih Indonesia bisa kayak gitu? Next time kalau
saya travelling pake pesawat, bakalan gapapa banget malah ikhlas
seikhlas-ikhlasnya deh buat bayar pajak untuk pembangunan taman-taman atau pembangunan
teknologi rendah emisi lainnya yang akan dibangun di Indonesia :3
Oh
iya, Pak Yon sempat bertanya di forum tentang arti deret angka 280, 350, 401 itu apa
sih? Hehe saya yang pernah mendapatkan pengetahuan tersebut di Workshop
SwitchCamp dari 350 Indonesia, segera menjawab pertanyaan Pak Yon itu. Ya jadi
280 (ppm) itu adalah kadar emisi karbon di atmosfir bumi sebelum terjadinya
masa Revolusi Industri. Nah seiring berkembangnya peradaban dan pembangunan industri-industri
di dunia pun semakin banyak menyumbang emisi karbon tersebut. Nah 350 (ppm) itu
batas aman emisi karbon yang seharusnya bumi emban. Tapi rekor 350 ppm itu terjadi
di sekitar tahun 1990-an. Seiring berkembangnya waktu ditambah dengan fenomena ledakan penduduk dunia
ya makin-makin mendesak kebutuhan akan lahan dan pembangunan industri-industri hingga
gaya hidup manusia yang berubah menjadi over konsumtif sampai akhirnya kita
sukses menyumbang emisi karbon dengan rekor sudah mencapai titik 401 ppm
sekarang ini hiks.
Masih
terkait dengan materi jejak karbon, ada fakta menarik sekaligus mengkhawatirkan
nih. Lihat aja diagram dibawah ini:
|
Diagram 2795 GT CO2 reserved |
Perhatikan kotak berwarna
biru itu. Itu adalah gambaran kandungan emisi CO2 di atmosfir pada tahun
1750-an saat Revolusi Industri dimulai. Hingga peradaban dan perkembangan zaman
semakin maju, diagram kandungan emisi CO2 itu pun juga semakin meningkat. Kini
akibat segala aktifitas pembangunan manusia di bumi sudah mencapai 565 Giga Ton
CO2 di ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius. Namun,
ilmuwan mengatakan masih ada energi fosil yang siap dibakar hingga mampu
memproduksi emisi sebesar 2795 Giga Ton CO2! Gila! Bayangkan kalau seandainya
penduduk dunia terus mengonsumsi energi fosil terus-terusan, berapa banyak
sumbangan karbon yang akan membebani atmosfir bumi ini nanti? :( Gimana dampak
efek rumah kaca yang akan dihasilkannya, pasti akan semakin meningkatkan
pemanasan global akibat terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 2 derajat celcius, sampai
akhirnya fenomena perubahan iklim pun tidak dapat terelakkan lagi, bencana akan
terjadi dimana-mana akibat dampak bawaan dari perubahan iklim itu! Hiks spontan
saya langsung sedih mendengar kabar ini! :’(
Belum lagi waktu yang tersisa untuk kita sebelum bumi benar-benar mencapai kadar 450 ppm itu menurut
ilmuwan hanya sekitar 20 tahun lagi! Hal ini berdasarkan perhitungan time
series yang menunjukkan trend dari tahun ke tahunnya kadar emisi karbon di atmosfir terus
eksponensial naik sebanyak 2 ppm. Sekarang aja udah mencapai 401 ppm. Nah
kira-kira hitungan kasarnya kalau kita terus mengeluarkan emisi karbon tanpa aksi
mitigasi yang serius, ya grafik itu akan terus naik mencapai 450 ppm dalam waktu
20 tahun lagi. Dan bisa dipastikan setelah mencapai titik 450 ppm, there’s no
turning back! Bumi sudah akan hancur karena kenaikan 2 derajat celcius itu.
Makanya, yuk benar-benar kita tanggapi secara serius isu perubahan iklim ini.
Jangan sampai kita acuh terus-terusan hidup dalam pola terlalu konsumtif.
Bijak-bijaklah menggunakan energi listrik. Hemat bukan berarti tidak memakai
sama sekali dan menganggu aktifitas kehidupan. Hanya saja ingat untuk memakai
secukupnya, matikan selebihnya. Dan berbagai aksi sederhana namun berarti
lainnya yang bisa kita lakukan untuk mengupayakan peminimalisiran produksi
emisi karbon.
Setelah sesi 2 selesai,
lagi-lagi saya mengambil kesempatan bertanya jauh lebih dalam mengenai
kegelisahan saya terkait fakta gambar diagram di atas. Saya curhat mengenai
pemikiran saya dan bertanya, kalau sudah begitu gimana Pak, apa yang bisa kita
lakukan?
Beliau menjawab, salah satu
yang paling krusial dapat mencegah hal itu terjadi adalah dengan aksi mitigasi
dari pembangunan energi terbarukan. Kita tahu Indonesia diapit oleh 2 samudera
dan 2 benua, Indonesia pun terkenal dengan julukan ‘Ring of Fire’ –nya karena
kaya dengan sumber daya dan bentang alamnya yang banyak memiliki hutan primer
beserta pegunungan. Sehingga hal itu membuat Indonesia memiliki potensi akan energi
panas bumi atau yang disebut geothermal energy. Nah, inilah yang harus coba
kita kembangkan sekarang. Untuk mensubstitusi pemakaian energi fosil, kita bisa
memulai pengembangan geothermal. Sebenarnya kita bisa saja membangun solar
panel dan kincir angin, tetapi perlu diketahui bahwa koefisien angin di
Indonesia tidak sebesar seperti di Negara Belanda, Jerman, atau Itali yang
memang di sana kebanyakan sudah sukses memasang instalasi kincir angin secara
serentak dan merata di pelosok daerah negaranya. Sehingga kurang cocok kalau
kita menyadur aplikasi kincir angin sebagai energi terbarukan di Indonesia.
Adapun instasi solar panel juga membutuhkan biaya yang mahal. Oleh sebab itu,
kita coba ambil solusi yang memang potensial dikembangkan sembari kita kroscek
potensi apa yang banyak dimiliki Indonesia? Ya salah satunya potensi energi
panas bumi itu tadi. Namun pengembangan energi panas bumi tidak serta merta
sederhana juga. Berhubung energi panas bumi itu kebanyakan berada di hutan
lindung, di sana harus ada konsolidasi perizinan pembukaan lahan untuk memasang
aktifitas instalasi pengeboran serta turbin di daerah setempat. Nah ini yang
agak sulit karena memainkan peran segala pihak baik dari departemen kehutanan,
ESDM, lingkungan, hingga perencanaannya. Kamu kan anak plano, di sini kamu bisa
main membantu mengadvokasi kebijakan-kebijakan terkait sehingga akhirnya dapat
mempermudah proses keberjalanan pembangunan energi panas bumi ini. *wah mata
saya langsung terbelalak haru mendengar saran dari Pak Yon. Mantap deh,
Alhamdulillah background ilmu saya di PWK ini dapat berguna dan ada benang
merahnya juga jika dikaitkan ke dalam passion yang saya minati ini. Huhuhu
terimakasih banyak Pak Yon sudah mencerahkaaan :’)*
Berdiskusi dengan Pak Yon
benar-benar membuat saya kaya dengan banyak ilmu baru! Perspekti saya terhadap
bidang energi terbarukan semakin meluas. Ternyata tidak cuma solar panel atau
kincir angin saja kita bisa bangun untuk mendukung kedaulatan energi bangsa.
Kini ada alternative lain yang lebih solutif dan sesuai dengan potensi yang
dimiliki Indonesia, yakni energi panas bumi. (mungkin bagi sebagian orang sudah
pada tahu sebelumnya tentang ini. Tapi jujur saja kalau saya pribadi baru tahu
banget tentang potensi energi panas bumi ini huehehe. Karena sebelumnya setelah
mengikuti workshop 350 Indonesia yang berkunjung ke Desa Poncosari, Bantul,
yang sudah sukses menerapkan PLTH di sana, saya sering mendukung dan mengampanyekan
baru sebatas solar panel dan kincir angin saja di setiap diskusi. Namun kali
ini setelah saya mendapat ilmu baru dari Pak Yon, saya akan coba menilik dan meneliti
lebih dalam lagi segala proses yang berkaitan dengan pengembangan energi panas
bumi ini.)
Pikir saya, karena Indonesia
memiliki potensi daerah yang berbeda-beda satu sama lain, ada baiknya pengadaan
energi terbarukan disesuaikan dengan potensi daerahnya masing-masing. Jika
memang di suatu daerah itu kaya dengan potensi angin seperti daerah yang
memiliki pesisir pantai, boleh saja kita tetap membangun kincir angin. Begitu
juga dengan daerah yang kaya dengan sinar mataharinya seperti daerah-daerah
yang dilewati garis khatulistiwa, bisa saja dikembangkan pembangunan solar
panel di wilayah-wilayahnya. Dan bagi daerah yang memiliki titik-titik potensi energi
panas bumi, mari coba bersama didukung-dan-kembangkan! Semoga pemerintah pusat
mempercepat proyek pengadaan energi terbarukan dari energi panas bumi ini. Dan
saya, sebagai mahasiswa Planologi yang memiliki passion besar terhadap Climate
Change Policy, saya akan mencoba meranah ke sana setelah saya lulus kelak. Saya
bisa memanfatkan ilmu terkait kebijakan pembangunan yang saya pelajari selama
ini, serta saya bisa mengembangkan minat yang saya miliki :)
Overall, saya sangat
bersyukur bisa terpilih lolos di acara YFCC Indonesia yang membukakan pintu
gerbang saya bertemu dengan orang-orang hebat yang sudah ahli di bidang ini dan
saya pun belajar banyaaakkk hal dari mereka semua. Terima kasih sebesar-besarnya
untuk DNPI Indonesia sudah menyediakan kesempatan berharga ini yang akan saya
manfaatkan sebaik-baiknya demi masa depan saya.
Okeeey, seusai berdiskusi
cukup intens dengan Pak Yon, saya kembali ke kamar. Di sana terlihat Riska
sudah terlihat rapi karena sudah beberes packing. Giliran saya yang packing. Kita
pun sambil bercerita-cerita mengenai aktifitas ke depan yang akan kita coba
ikuti bersama hehehe.
Sebelum pulang kami semua
makan siang dulu untuk yang terakhir kalinya. Suasana Kota Bogor saat itu nyaman
sekali karena sedang cantik-cantiknya turun hujan gerimis. Selesai makan kami
berpamitan dengan peserta dari Bogor, Alin, Dani, dan Tama. Setelah foto
bersama di depan pintu utama Hotel New Ayoeda, baru lah kami menuju bis kepulangan yang akan mengantarkan kami
kembali ke kantor DNPI di Jakarta.
|
Sayonara kawan, sampai bertemu lagi :) |
Sesampainya di Jakarta, saya
memilih untuk pulang ke rumah dulu (ga langsung balik ke Bandung). Di rumah saya bercerita dengan kedua orangtua saya atas
apa yang telah saya dapatkan selama 2 hari pelatihan di Bogor. Respon mereka
pun senang dan sangat mendukung atas apa yang telah saya komitmenkan; passion
di bidang Environmental Management dan Climate Change Policy ini. Kelak insyaAllah aku
akan berusaha sukses dengan pilihan passion yang aku ambil ini, Mah, Pah :)
Sekarang tugas saya selanjutnya adalah fokus menyelesaikan dan mengumpulkan TA dulu untuk mengejar Wisuda Maret (haduuuh deg-degan nih deadline pengumpulan draft sidang pembahasan bulan depan coooy! Semangat semangat! Bismillah pasti bisa kekejar! Aamiin). Setelahnya akan saya coba mulai satu persatu melangkahkan diri secara pasti menuju semua goal saya ke depan.
Bismillahirrahmanirrahiim...
Bandung, 10 Desember 2014
Irene Sarah